Kamis, 03 Desember 2009

Kebijakan Pendidikan <<<

A. Pengertian Kebijakan Pendidikan

Definisi kebijakan pendidikan sebagaimana adanya dapat disimak melalui pernyatan-pernyataan berikut ini.

Carter V. Good (1959) (dalam Imron, 2002:18) menyatakan,

Educational policy is judgment, derived from some system of values and some assesment of situational factors, operating within institutionalized adecation as a general plan for guiding decision regarding means of attaining desired educational objectives.

Pengertian pernyataan di atas adalah, bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu penilaian terhadap sistem nilai dan faktor-faktor kebutuhan situasional, yang dioperasikan dalam sebuah lembaga sebagai perencanaan umum untuk panduan dalam mengambil keputusan, agar tujuan pendidikan yang diinginkan bisa dicapai.

Hal menarik lainnya dapat disimak dalam sebuah konstitusi Jepang, yakni Undang-Undang Pendidikan yang ditetapkan pada Tahun 1947. Pokok-pokok undang-undang tersebut adalah

i. Prinsip Legalisme,

ii. Prinsip Administrasi yang Demokratis,

iii. Prinsip Netralitas,

iv. Prinsip Penyesuaian dan Penetapan Kondisi Pendidikan, dan

v. Prinsip Desentralisasi. (Research and Statistic Planning Division, Ministry of Education, Science, Sports and Culture of Japan, 2000).

Prinsip yang pertama menetapkan bahwa mekanisme pengelolaan diatur dengan undang-undang dan peraturan-peraturan. Sebelum Perang Dunia II masalah pendidikan diputuskan oleh Peraturan Kekaisaran dan pendapat parlemen dan warga negara diabaikan. Namun, setelah reformasi pendidikan pasca perang urusan pendidikan diatur oleh undang-undang dan peraturan di parlemen. Prinsip kedua mengindikasikan bahwa sistem administrasi pendidikan harus dibangun berdasarkan konsensus nasional dan mencerminkan kebutuhan masyarakat dalam membuat formulasi kebijakan pendidikan dan prosesnya. Prinsip ketiga menjamin bahwa kewenangan pendidikan harus independen dan tidak dipengaruhi dan diinterfensi oleh kekuatan politik. Prinsip keempat mengidikasikan bahwa pemegang kewenangan pusat dan lokal mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan kesempatan pendidikan yang sama bagi semua dengan menyediakan fasilitas-fasilitas pendidikan yang cukup untuk mencapai tujuan pendidikan. Prinsip kelima menyatakan bahwa pendidikan harus dikelola berdasarkan otonomi pemerintah lokal karena pendidikan merupakan fungsi dari pemerintah lokal.

Nah, dapat disimpulakan bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu produk yang dijadikan sebagai panduan pengambilan keputusan pendidikan yang legal-netral dan disesuaikan dengan lingkugan hidup pendidikan secara moderat.

B. Kriteria Kebijakan Pendidikan

Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni:

1. Memiliki tujuan pendidikan

Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan.

2. Memenuhi aspek legal-formal

Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga, dapat dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.

3. Memiliki konsep operasional

Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.

4. Dibuat oleh yang berwenang

Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan. Para administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.

5. Dapat dievaluasi

Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk ditindaklanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi terhadapnya secara mudah dan efektif.

6. Memiliki sistematika

Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem jua, oleh karenanya harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya. Sistematika itu pun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi dan sustainabilitas yang tinggi agar kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh strukturnya akibat serangkaian faktof yang hilang atau saling berbenturan satu sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudian, secara eksternal pun kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya; kebijakan politik; kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau disamping dan dibawahnya.

C. Siapakah Pembuat Kebijakan Pendidikan ?

Dalam prespektif Halligan, J dan J Power. 1992 dalam buku Political Management in the Nineties dinyatakan bahwa :

...three principle dimensions of policy process in government, expanding on the first model. The three dimensions are:

i. Administrative. Administrators maintain policy. They are primarily concerned that all regulations are complied with. They strive for impartiality, continuity, and procedural correctness. Administrators tend to be conservative, but are generally willing to follow changes in policy once agreed, as their function is to maintain policy. They strive to assure that any change does not upset stability.

ii. Management. Managers launch activities within the frameworks given. Management focuses on implementing changes, and thus are primarily concerned with outputs than regulations and procedures.

iii. Political. The political process within the executive is led by politicians, the elected head of government and ministers, who often rely on their senior officials for political guidance. This function is the steering of change. The political process initiates change, gains endorsement for change by attending to numerous interest for and against change.

Sehingga, sebagai kesimpulannya, bahwa para pembuat kebijakan itu adalah;

  • administrator;
  • manajer;
  • politisi

yang berada pada posisi masing-masing sesuai dengan kekuasaan dan kewenangan mereka dalam bidang yang mereka tanggungjawabi.

Para administrator itu akan memberikan program-program yang dirancangnya dari konsep hingga praktis; manajer akan menjabarkan program-program itu dengan pengembangan yang teknis; dan para politisi akan merancang gerakan kebijakan yang mampu mewujudkan perubahan signifikan dalam konteks jangka panjang (long-term) yang mengatur program-program pada tingkatan struktur politik di daerah tempat program-program tersebut diselenggarakan.

D. Tingkat dasar dan menengah

Kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang berlangsung selama ini dinilai sebagian kalangan sebagai overloaded dan para siswa dibawa untuk "tahu sedikit tentang hal yang banyak". Secara sentralistis, muatan pelajaran dan jam pelajaran ditentukan seragam untuk seluruh Negara. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah selama ini masih seringberubah-ubah sehingga dalam pelaksanaan seringkali terjadi keraguan, kegundahan, dan kegalauan baik bagi siswa, orang tua siswa, dan guru serta pengelola satuan pendidikan. Perubahan kurikulum yang terlali cepat dapat menimbulkan kegoncangan pada pelaksanaan pendidikan. Struktur dan muatan kurikulum yang ada juga belum sepenuhnya mencerminkan asas keterpaduan dan keterpadanan, begitu pula peninjauan dan pengembangan kurikulum masih terkesan dipaksakan dan tidak didasarkan pada paradigma yang jelas.

Selama ini sebaran guru yang kompeten juga masih sporadis, hanya terkonsentrasi di kawasan perkotaan (Urban School), dan di sekolah-sekolah terpencil (Rural School) masih banyak yang belum mempunyai guru profesional. Penghargaan berupa materi maupu non-materi kepada para pendidik yang berprestasi masih perlu ditingkatkan, sanksi terhadap guru atau tenaga kependidikan yang “nakal” juga belum tegas. Pengharagaan kepada para pendidik di daerah “pinggiran” juga masih belum optimal.

Secara kelembagaan, Kantor Dinas Pendidikan di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota juga belum mampu berperan sebagaimana diharapkan. Fekrynur mengemukakan bahwa Kantor Dinas Pendidikan kabupaten/kota dan provinsi, dianggap relatif mubazir, apabila keberadaannya tidak mampu memfasilitasi peningkatan mutu pendidikan di lingkup daerahnya masing-masing. Dana habis milliaran rupiah untuk membiayai ‘kegiatan kantor’ [sebagai ilustrasi, pada tahun 2006, hampir satu trilliun rupiah dianggarkan untuk dikelola Kantor Disdik Sumatera Barat) namun mutu pendidikan terus saja semakin terpuruk (tertinggal). Gejala penurunan efektifitas pembinaan ini sejalan dengan dimulainya otonomi daerah di awal tahun 2001.

Dari sisi biaya pendidikan, pendidikan di Indonesia adalah salah satu yang termahal di dunia. Sungguh kasihan anak-anak Indonesia saat ini yang orang tuanya tidak mampu. Padahal pendidikan merupakan kunci kelak di saat mulai terjun ke dunia kerja. Ironisnya, belum tentu juga dengan biaya yang makin mahal berarti pendidikan yang makin bagus. Salah satu penyebab mahalnya pendidikan tersebut adalah karena banyak pihak yang mulai membisniskan pendidikan ini.

Dari sisi layanan, berdasarkan Data Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama menunjukkan bahwa secara kuantitatif fasilitas layanan pendidikan sudah cukup baik dengan rasio murid per ruang kelas sebesar 26 untuk SD/MI, 37 untuk SMP/MTs, dan 39 untuk SMA/SMK/MA. Pada saat yang sama, rasio murid per guru adalah 20 untuk SD/MI, 14 untuk SMP/MTs, dan 13 untuk SMA/ SMK/MA. Meskipun demikian, kualitas layanan pendidikan masih terbatas karena dukungan fasilitas yang belum memadai. Sampai dengan tahun 2004, kualitas pendidikan juga dinilai masih rendah karena belum sepenuhnya mampu memberikan kompetensi sesuai dengan tahap pendidikan yang dijalani peserta didik. Hal tersebut terutama disebabkan oleh (i) ketersediaan pendidik yang belum memadai baik secara kuantitas maupun kualitas, (ii) kesejahteraan pendidik yang masih rendah, (iii) fasilitas belajar belum tersedia secara mencukupi, dan (iv) biaya operasional pendidikan belum disediakan secara memadai.

Pada pendidikan menengah kejuruan, beberapa permasalahan yang masih dihadapi dewasa ini adalah sebagai berikut: (1) penyelenggaraan pendidikan kejuruan membutuhkan biaya pendidikan yang tinggi dibandingkan dengan biaya penyelenggaraan pendidikan umum lainnya, namun ternyata belum dapat memberikan tingkat balikan (rate of return) yang lebih tinggi dibandingkan dengan pendidikan umum; (2) kurikulum yang selama ini dipakai kurang mempunyai tingkat keluwesan dan terlalu terstruktur sehingga kurang peka terhadap tuntutan kebutuhan lapangan kerja secara luas, selain itu materi pengajaran yang disampaikan masih belum memenuhi kaidah profesionalisme dan kurang berorientasi ke pasar kerja; (3) pendidikan kejuruan seringkali mengalami hambatan dalam perluasannya karena berbagai ketentuan birokrasi, seperti proses perijinan dan ijazah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal, kurikulum sekolah mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengelolaan pendidakan dalam suatu satuana pendidikan. Unsur utama penentu arah pendidikan dalam suatu satuan pendidikan adalah kurikulum. Karena itu, komponen yang sangat penting karena kualitas lulusan juga ditentukan oleh kurikulum an efektifitas pelaksanaananya. Hal ini dapat dimengerti, karena kurikulum merupakan pemandu untuk mencapai visi, misi, tujuan dan sasaran yang sudah ditetapkan. Namun demikian, secara umum Winanrno Surachmad menyatakan, pola pendidikan di Indonesia tidak disusun oleh kaum profesional melainkan oleh politisi sehingga visi pendidikan menjadi tidak jelas dan tidak ada kontinuitas sistem guna mewujudkannya.

Tantangan yang dihadapi dalam pembangunan pendidikan menengah kejuruan untuk kurun waktu lima tahun ke depan adalah sebagai berikut.

a. Tantangan dalam kaitannya dengan perluasan dan pemerataan pendidikan, adalah bagaimana meningkatkan angka partisipasi terutama di tingkat kabupaten/kota yang secara kuantitatif cukup signifikan dalam mengembangkan dan mengolah potensi wilayah, sehingga struktur tenaga kerja menurut jenjang pendidikan bergeser ke arah bentuk belah ketupat (mengecil di tingkat SD/SLTP dan membesar di tingkat menengah).

b. Tantangan dalam kaitannya dengan kualitas dan relevansi adalah: (1) bagaimana mengubah kurikulum pendidikan dari berbasis sekolah ke berbasis ganda, hal ini akan memberikan pengetahuan, keterampilan dan proses transfer sistem nilai yang ada di dunia kerja lebih cepat antara lain melalui pembentukan wawasan mutu, wawasan keunggulan, wawasan pasar, kepedulian kepada pelanggan dan pembentukan etos kerja; (2) bagaimana mengubah pola penyelenggaraan pendidikan yang selama ini cenderung berorientasi kepada dirinya sendiri ke arah yang lebih berorientasi ke dunia luar yaitu antisipatif pada perkembangan kebutuhan pasar kerja atau mengubah pola kerja dari supply driven menuju demand driven; (3) bagaimana mengubah sistem pengajaran dari berbasis mata pelajaran menuju model pengajaran berbasis kompetensi; model pengajaran berbasis mata pelajaran mengakibatkan terjadinya kesulitan untuk mensinergikan materi bahan ajar menjadi suatu kemampuan/kompetensi utuh. Model pengajaran berbasis kompetensi secara langsung berorientasi pada kompetensi atau satuan-satuan kemampuan; (4) bagaimana mengubah dari sistem pendidikan formal yang kaku, ke sistem yang luwes dan menganut prinsip multy entry, multy exit (peserta didik dapat keluar masuk sistem pendidikan sesuai kebutuhan dan kemampuan} ;untuk ini diperlukan kurikulum yang luwes yang memungkinkan pelaksanaan praktek kerja Industri disesuaikan dengan jadwal ketersediaan tempat magang di Industri, di samping memungkinkan bagi peserta didik untuk meninggalkan sekolah untuk bekerja, kemudian masuk kembali sesuai kebutuhan yang bersangkutan; (5) bagaimana memberikan pengakuan terhadap kemampuan awal yang dimiliki peserta didik, (priorlearning recognition); sistem baru pendidikan kejuruan harus mampu memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap kompetensi yang dimiliki seseorang sebagai bekal awal untuk menempuh pendidikan selanjutnya; (6) bagaimana mengemas bentuk paket-paket kompetensi kejuruan sehingga lebih memudahkan pengakuan dan penghargaan terhadap program pelatihan yang berbasis kompetensi (competency based training) antara program pelatihan dan program pendidikan.

c. Tantangan dalam kaitannya dengan manajemen pendidikan, adalah bagaimana mengembangkan prinsip desentralisasi dan pola manajemen mandiri; dengan maksud memberi peluang kepada pengelola sekolah untuk menentukan kebijakan operasional serta melakukan inprovisasi dan inovasi dengan prinsip akuntabilitas dengan tetap mengacu pada kebijakan Nasional. Kunci utama untuk memandirikan manajemen sekolah adalah dengan mencari, menyiapkan dan menempatkan manajer yang berkualitas unggul.

Pendidikan dasar dan menengan diharapkan menjadi fondasi pola pikir peserta didik, baik dalam rangka melanjutkan studi maupun menjadi pekerja. Pendidikan dasar dan mengengah lebih mengutamakan penanaman dan penguasaan kecerdasar intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Namun, khusus untuk jenjeng pendidikan menengah kategori SMK, maka pendidikan kecakapan hidup (life skill), vacational, dan keterampilan motorik juga menajdi titik tekan utama.

Berpijak pada uraian di atas dapat dipahami, bahwa pendidikan dasar dan menegah di Indonesia masih mempunyai banyak kelemahan, dibandingkan dengan keuanggulan. Di era global ini, pendidikan Indonesia menghadapi tantangan yang sangat berat, apalagi dengan lahirnya Word Trade Organization (WTO) yang memungkinkan satuan pendidikan luar negeri beroperasi di Indonesia.

Untuk menguraikan permasalahan pendidikan, begitu pula mencari langkah-langkah strategis untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menegah di Indonesia, perlu melakukan pendekatan dengan model sistem input-proses-output. Melalui pendekatan tersebut permasalahan yang terjadi dapat diurai secara cepat, tepat, dan teliti. Dalam pendekatan, agar diperoleh output yang bermutu, yang perlu diperhatikan tidak hanya input-nya melainkan harus memusatkan perhatian pada proses. Melalui perhatian yang serius pada komponen proses, akan sangat menentukan kualitas output pendidikan. Karena itu, langkah strategis yang dapat dilakukan juga meliputi peserta didik, pendidik, dan proses pendidikan.

Pengertian mutu adalah derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya), baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks mutu pendidikan, maka pengertian mutu, mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam "proses pendidikan" yang bermutu terlibat berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif. Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mensinkronkan berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas; baik konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup subtansi yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran. Mutu dalam konteks "hasil pendidikan" mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir cawu, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya ulangan harian, ujian semester, Ujian Nasional). Dapat pula prestasi di bidang non-akademik misalnya prestasi di suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya : komputer, beragam jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Pendidikan dapat dikategorikan bermutu, apabila dapat diukur dari kedudukannya untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional-adalah pendidikan yang berhasil membentuk generasi muda yang cerdas, berkarakter, bermoral dan berkepribadian. Dalam bahasa UNESCO (1996) mampu moulding the character and mind of young generation.

Ada tiga faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan yaitu: kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function atau input-input analisis yang tidak consisten; 2) penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik; 3) peran serta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan sangat minim. Berpijak pada pendapat tersebut maka langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah antara lain sebagai berikut.

1. Penciptaan Kepastian Hukum yang Mengatur tentang Kependidikan yang Responsif

Agar penyelenggaraan pendidikan dapat berjalan sesuai dengan harapan masyarakat dan pemerintah, diperlukan peraturan perundang-undangan yang mengatur kependidikan secara jelas, tegas, dan pasti. Selama ini meskipun peraturan perundang-undangan sudah ada, namun dalam impelematsinya masih sering adanya inkonsistensi. Tenaga kependidikan dan para pegawai di lingkungan Depdiknas kadang masih ragu dalam mengambil langkah-langkah konkret dalam menyelesaikan permaslaahan pendidikan. Misalnya, jika suatu bangunan sekolah atau sarana sekolah tidak layak pakai dan dalam keadaan darurat, dewan sekolah, kepala sekolah, kepala dinas pendidikan “kurang berani” melakukan upaya pembangunan gedung secara cepat, karena harus menunggu proses pengurusan perizinan yang panjang, belum lagi banyak pihak yang takut dengan pengawas, BPK, Polisi, Jaksa, KPK. Dalam bidang kepangkatan, banyak pegawai yang kerepotan melakukan pengurusan kenaikan pangkat, apalagi untuk mencapai pangkat Pembina Tingkat I (Golongan IVB). Sistem sertifikasi guru yang saat ini juga masih dirasakan belum sepenuhnya fair, karena yang dinilai oleh assesor adalah berkas, bukan assesi (guru). Ketentuan tentang penyebaran tenaga kependidikan yang kompeten juga belum transparan. Ketentuan hukum tentang kurikulum juga sering berubah sehingga para guru sering kesulitan mengadakan penyesuaian.

Prinsip pembelajaran konstruktivisme yang berorientasi pada masalah dan tantangan akan menghasilkan sikap mental profesional, yang disebut researchmindedness dalam pola pikir siswa, sehingga kegiatan pembelajaran selalu menantang dan menyenangkan.


2. Penciptaan Kurikulum yang Mantap dan Prospektif

Kurikulum merupakan kerangka acuan pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di suatu satuan pendidikan yang akan dilaksanakan oleh sumberdaya pendidikan. Kurikulum dirancang oleh peerintah dan pihak-pihak terkait dalam rangka mencapai tujuan instruksional, kemudian dapat menopang tujuan institusional, dan selanjutnya dapat mengarah pada tujuan kurikuler, dan dapat menyokong tujuan pendidikan nasional, yang akhirnya bermuara pada pencapaian tujuan pembangunan nasional sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4.

Saat ini, reformasi pendidikan merupakan dasar utama untuk menghindari disorganisiasi massal, dan merupakan landasan reformasi politik dan reformasi hokum. Walapun kurikulum telah disusun secara terencana, kemungkinan mengalami kegagalan dalam proses implementasinya merupakan hal yang sangat mungkin terjadi. Kegagalan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang meliputi antara lain kurang pemahaman terhadap konsep kurikulum dan cara melaksanakannya, kurang tersedianya sarana pembelajaran yang mendukung, maupun kekuranglayakan tenaga pendidik.

Peninjauan kurikulum melalui pengadopsian kurikulum perlu dioperasionalkan melalui 3 tahap adopsi materi kurikulum sebagaimana dikemukakan Meredith Gall, yaitu identifikasi kebutuhan (Identify Your Needs), mendapatkan bahan kurikulum (Acces to Curiculum Materials), dan Analisis Bahan (Analyze the Materials) Untuk menilai kelayakan bahan untuk pengajaran maka perlu dilakukan penilaian bahan kurikulum (appraisal of curriculum materials), yaitu dengan cara melakukan pemeriksaan bahan kurikulum, pemeriksaan bahan di lapangan, dan pembuatan keputusan adopsi bahan (make an adoption decision). Langkah ini dapat dilakukan oleh pemegang kebijakan kurikulum di tingkat nasional maupun daerah, termasuk satuan pendidikan.

Dalam mengimplementasikan kurikulum, E. Mulyasa (2003) mengetengahkan lima model pembelajaran yang dianggap sesuai dengan tuntutan Kurikulum misalnya (1) Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning); (2) Bermain Peran (Role Playing); (3) Pembelajaran Partisipatif (Participative Teaching and Learning); (4) Belajar Tuntas (Mastery Learning); dan (5) Pembelajaran dengan Modul (Modular Instruction). Sementara itu, Gulo (2005) memandang pentingnya strategi pembelajaran inkuiri (inquiry). Hal ini diharapkan dapat mencapai konndisi yang menurut Sagala, S. terjadinya pengembangan kecintaan untuk belajar, pemikiran kritis dengan kecakapan memecahkan masalah, apresiasi atau penghargaan estetika, kreativitas, dan kompetensi perseorangan.

Pendekatan Pembelajaran kontektual (Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru.Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual. Pembelajarn kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan ( Inquiri), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment).

3. Penetapan Baku Mutu/Standar Pendidikan yang Tegas

Baku mutu pendidikan dasar dan menengah sudah ditetapkan oleh pemerintah melalui Standar Nasional Pendidikan, bahkan sudah dibentuk Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Untuk mencapai baku mutu yang ditentukan, perlu adanya Sistem jaminan Mutu baik internal maupun eksternal. Penjaminan mutu internel misalnya dapat dilakukan dengan cara membentuk unit penjaminan mutu di sekolah, sedangkan penjaminan mutu eksternal dapat dibentuk oleh Kantor Diknas.

Salah satu cara melakukan standarisasi pendidikan adalah melakukan Monitoring dan Evaluasi. Moitoring dan evaluasi (Monev) merupakan langkah pengawasan (control) terhadap pelaksanaan suatu kegiatan. Hal ini dimakksudkan agar pencapaian tujuan dapat berjalan secara efisien dan efektif. Melalui langkah ini maka semua program pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan menengah kejuruan dapat diketahui secara terbuka oleh Dinas Pendidikan Propinsi, SMK, Pemerintah Kab/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi, serta pihak terkait lainnya. Untuk kelancaran pelaksanaan program bimbingan teknis dalam rangka untuk lebih memberikan pemahaman secara teknis kemajuan pembangunan pendidikan kejuruan di setiap wilayah akan dilakukan oleh Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan.

Monev dilakukan secara berjenjang, yaitu pada tingkat satuan pendidikan, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, dan tingkat nasional dengan mendayagunakan institusi yang sudah ada. Khusus untuk “Unit Penjaminan Mutu” masih perlu dibentuk berdasarkan perhitungan yang matang. Sedangkan materi yang dimonitor dan dievaluasi adalah semua aspek administrasi pendidikan. Langkah Strategis yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.

a. Pada tingkat satuan pendidikan perlu dibentuk “Gugus Kendali Mutu” atau “Unit Penjaminan Mutu” yang berfungsi melakukan evaluasi dan monitoring secara jujur dan transparan terhadap pelaksanaan adiministrasi pendidikan di suatu sekolah. Hasil Monev ini dapat digunakan sebagai sarana evaluasi diri.

b. Sebagai langkah pengendalian selanjutnya, di setiap kabupatan/kota dibentuk Tim Monitoring dan Evaluasi (Tim Monev) dan bekerjasama dengan tim school mapping yang membantu Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi, dan Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan dalam melakukan pemantauan kemajuan kegiatan, permasalahan yang timbul, dan memberi rekomendasi tindak lanjut sebagai solusi terhadap permasalahan dalam implementasi program. Tim ini diharapkan dapat bekerja dan mengirim informasi melalui infrastruktur teknologi informasi yang tersedia, sehingga secara cepat dan akurat dapat dilakukan antisipasi oleh berbagai pihak terkait.

c. Pada tingkat pusat dan propinsi juga ditetapkan Konsultan Penjamin Mutu Pelaksanaan Pembangunan SMK, yang diharapkan dapat membantu perencana, pengawas, dan pelaksana pembangunan sarana dan prasarana pendidikan kejuruan yang dibangun dengan dana imbal swadaya di Kab/Kota. Peranan penting dari konsultan ini adalah agar setiap pekerjaan pembangunan yang dilakukan secara swakelola oleh SMK memenuhi kualitas yang dipersyaratkan.

d. Koordinasi dengan Dinas Kabupaten/Kota dan Dinas Pendidikan Provinsi serta unsur Pemerintah Kabupaten/Kota baik pada tahap perencanaan, persiapan implementasi, dan evaluasi program diharapkan mampu menciptakan sinergi, khususnya komitmen pemerintah daerah dalam mensukseskan program pengembangan sumber daya manusia di wilayahnya, antara lain dalam penyediaan dana pendamping. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa untuk merealisasikan dana pendamping melalui APBD yang telah disepakati untuk setiap program bukanlah hal yang mudah untuk dipenuhi. Oleh sebab itu forum-forum koordinasi ini diharapkan dapat mensinergikan berbagai program baik yang ada di pusat maupun pemerintah daerah demi keberhasilan program.

e. Pemberdayaan Sistem Informasi Manajemen (SIM) dalam pengelolaan subsidi dan imbal swadaya diharapkan pula dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengelolaan, antara lain dimulai dengan pemberlakuan sistem kodefikasi kegiatan.

4. Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Tenaga Kependidikan, Khususnya Guru.

Peningkatan kualitas tenaga kependidikan diperlukan untuk merubah secara mendasar tentang perilaku tenaga kependidikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Lefrançois (2000:358) "Meeting the these goal, note Banks and Banks, requires major changes not only curriculum and teaching methods, but also in curriculum in teacher and administrators' attitudes." Dibutuhkan perubahan secara mendasar tidak saja menyangkut kurikulum dan metode pembelajaran tetapi juga dalam hal perilaku guru dan tenaga adminsitrasi. Hal ini diperlukan karena selama ini masih ada tingkah laku yang kurang profesional yang dilakukan oleh guru dengan siswa, guru dengan guru, dan siswa dengan siswa.

Penciptaan guru yang berkualitas dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya adalah sertifikasi guru. Hasil sertifikasi guru sebaiknya juga digunakan untuk melakukan pemetaan (mapping) terhadap kompetensi guru baik secara nasional maupun regional agar diketahui sebaran guru-guru yang benar-benar kompeten di bidangnya. Berdasarkan pemetaan tersebut, pihak yang berwenang dapat melakukan pemertanaan atau sebaran yang proporsional terhadap guru-guru yang berkualitas. Selama muncuk kesan bahwa guru-guru berkualitas banyak tersebar di sekolah-sekolah favorit (effective schools) di perkotaan. Untuk melakukan sebaran tersebut, pemerintah perlu juga memperhatikan aspek kesejahteraan yang dapat memberikan kompensasi pada guru-guru di “pinggiran”, misalnya melalui penambahan tunjangan , penyediaan perumahan dan fasilitas pendukung lainnya. Hal ini sudah biasa dilakukan dalam sistem pembinaan karier model militer di Indonesia dan beberapa negara lainnya, yaitu kader-kader terbaik harus ditempa terlebih dahulu di daerah-daerah yang penuh tantangan yang tidak mudah (contexts of stringency), kemudian dididik dan akhirnya dapat mengembangkan kompetensinya secara optimal.

Selain itu, penciptaan guru yang profesional juga harus diawali dengan penciptaaan Lembaga Perguruan Tinggi Keguruan (LPTK) yang berkualitas (mulai dari perekrutan mahahsiswa, kurikulum, penyelenggaraan perkuliahan, dan ujian), pengawasan terhadap guru dalam jabatan yang memadai, serta sistem penghargaan (reward) dan hukuman (punishement) yang fair.

5. Pengelolaan Satuan Pendidikan yang Didasarkan pada Asas “Good Governance”

Pengelolaan satuan pendidikan yang didasarkan pada asas Good Governance tersebut bukan hanya meliputi pengelolaan administrasi pendidikan, tetapi juga beraitan erat dengan anggaran, Sarana dan Prasarana. Bukan itu saja, semua pihak yang berkepentingan dengan sekolah agar mengerahkan segala sumber daya untuk mendukung terlaksananya proses pengajaran sebagai kunci untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Berkaitan dengan pengelolaan, Creemers mengemukakan agar segala sumber daya untuk mendukung terlaksananya proses pembelajaran, yaitu tidak hanya terbatas 3-M (Man, Money, Materiel) sebagaimana selama ini kita ketahui, melainkan juga sebagaimana dikemukakan oleh Caldwell&Spink: knowledge (pengetahuan -kurikulum, tujuan sekolah dan pengajaran), technology (media, teknik, dan alat pembelajaran), power ( kekuasaan, wewenang), materiel (fasilitias, supplies, peralatan), people (tenaga kependidikan, adminisirotif, dan staf pendukung lainnya), time ( alokasi waktu pertahun, perminggu, perhari, perjam pelajaran), dan finance (alokasi dana).

Kata governance merupakan perubahan dari kata govern, dan goverenmen. Government (pemerintah), merupakan suatu sturuktur lembaga formal (organisasi atau badan atau lembaga) yang menyelenggarakan tugas kenegaraan. Dalam Balck’s Dictionary, Government didefinisikan antara lain sebagai “… an organization through which a body of people exercise political authority: the machinery by which sovereign power is exercised…”. Harkristuti Harkrisnowo mengemukakan bahwa pada pertengahan tahun 1980-an telah berkembang konsep governance, yang dirumuskan oleh World Bank sebagai ”….the manner in which power is exercised in the management of a country’s economic and social resource for development…” sedangkan konsep Good Governance (GG) kemudian banyak dikembangkan oleh berbagai penulis, dengan masing-masing argumentasi dan justifikasi, sehingga disebut sebagai ‘a rather confusing variety of catchword, sebagai suatu konsep yang ‘has come to mean too many different things. Walaupun demikian, pada pokoknya ada suatu kesamaan, atau common denominator dalam semua definisi tentang GG, yaitu bahwasannya pembangunan harus’…. to a great extent rely on good administrative and law processes, within which each country must find its own pragmatic consensus between the various development goals… Adapun tiga aspek Governance mencakup (a) the form of political regime, (b) the process by which authority is exercised in the mana-gement of a country’s economic and social resources for development, and (c) the capacity of governments to design, formulate, and implement policies and discharge functions. Dalam bidang menajerial, Governance didefinisikan dengan ‘the process of decision-making and the process by which decisions are implemented (or not implemented)’ (UN ESCAP). Sehingga Good governance merupakan standar dalam manajemen mutu sebuah korporatif (perusahaan) atau pemerintahan atau semua aktor pembuat kebijakan publik dalam process penyelenggaraan manajerial dan pengambilan keputusan/kebijakan strategis secara proporsional dan orientasi positif.

Berdasarkan konsep dasar di atas, pengertian good governance dalam konteks ini adalah pengelolaan yang didasarkan pada asas keterbukaan, pertanggungjawaban, dan partisipasi dari stake holder. Dengan demikian, kualitas pengelolaan pelayanan pendidikan dengan penerapan prinsip good governance mencakup penerapan asas transparansi, akuntablitas, dan partisipatif, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumber daya pendidikan.

Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam pengelolaan satuan pendidikan, misalnya SMK (Sekolah Negeri atau Sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat yang mendapat subsidi dari pemerintah), khusus pada pengelolaan dana, maka perlu merujuk ketentuan hukum, yaitu Undang-Undang 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Pengelolaan keuangan perlu diselenggarakan secara professional, terbuka, dan bertanggungjawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD. Sesuai dengan amanat Pasal 23 C 1945, UU Keuangan Negara menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD tersebut ke dalam azas-azas umum yang meliputi baik azas-azas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan Negara, seperti azas tahunan, azas universalitas, azas kesatuan dan azas spesialitas maupun azas-azas baru sebagai pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan Negara antara lain: akuntabilitas berorientasi pada hasil; profesionalitas; proporsionalitas; keterbukaan dalam pengelolaan keuangan Negara; pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mendiri. Hal ini perlu dilakukan agar penegakkan good governance dalam pengelolaan SMK makin efisien, produktif serta akuntabel, misalnya penyelesaian sejumlah indikasi penyalahgunaan wewenang di lingkungan suatu satuan pendidikan.

6. Penciptaan Suasana yang Kondusif melalui Learning Habits & Learning Community untuk Mendukung Keberhasilan Pembelajaran.

Suasana pembelajaran mempunyai peranan penting dalam menunjang keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran. Karena itu setiap stake holder perlu mendorong terciptanya lingkungan yang mendidik dan mendukung pembelajaran (learning habits) dan masyarakat yang gemar belajar (learning community), bukan kumpulan para pembelajar (communities of learners).

Berkaitan dengan hal ini, Soedjiarto berpendapat bahwa saat ini pada semua jenjang pendidikan perlu dirancang suatu sistem pendidikan yang mampu menciptakan suasana dan proses pembelajaran yang menyenangkan, merangsang dan menantang peserta didik untuk mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik berkembang secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya adalah salah satu prinsip pendidikan demokratis. Sebagai lawan dari penyelenggaraan pendidikan yang menjadikan pendidikan hanya sebagai sarana untuk memilih dan memilah. Atas dasar ini pula, negara maju yang demokratis, seperti Amerika Serikat dan Jerman, tidak mengenal ujian nasional untuk memilih dan memilah. Kebijaksanaan yang diutamakan adalah membantu setiap peserta didik dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan: (1) menyediakan guru yang profesional, yang seluruh waktunya dicurahkan untuk menjadi pendidik; (2) menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga dan ruang bermain yang memadai dan ruang kerja guru; (3) menyediakan media pembelajaran yang kaya, yang memungkinkan peserta didik dapat secara terus-menerus belajar melalui membaca buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan, (termasuk novel), serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik belajar sampai tingkatan menikmati belajar; (4) evaluasi yang terus-menerus, komprehensif dan obyektif.

Melalui penciptaan situasi pembelajaran yang kondusif (academic atmostphire), maka peserta didik dapat lebih enjoy dalam mengikuti pembelajaran. Masyarakat yang mendukung pendidikan tentu akan selalu memberikan sokongan pada proses pembelajaran di masyarakat, misalnya orang tua sangat peduli dengan prposes pembelajaran siswa di luar sekolah, dan ikut mengidentifikasi kesulitan belajar siswa.


DAFTAR PUSTAKA

http://ikmsatu.multiply.com/journal/item/2

http://pendidikankritis.wordpress.com/2009/10/13/kritik-kebijakan-pendidikan/

http://ipnu.or.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=15


1 komentar: